Assalamualaykum

Jumat, 09 Mei 2014

Menikah, Mimpi Indah Sampai ke Langit


Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Akhirnya aku menikah. Bahagia sekali dalam proses ijab kabul berjalan dengan lancar. Keluarga besarku hadir, tetangga dan teman-teman dekatku ikut memberikan doa restunya. Namun aku tak mengenal siapakah lelaki ini yang lancar sekali dalam ijab kabul. Dia, tak jelas wajahnya, yang menjadi suamiku setelah prosesi ijab kabul ini. Siapa dia? Aku tak tau namanya, tak terlihat wajahnya, aku hanya bisa melihat dari belakang saja, kami tak disandingkan dalam prosesi ini. Aku duduk bersama Ibuku di belakang lelaki ini. Siapakah dia? Mungkinkah ini nyata. Semoga benar. Tapi, siapakah dia?
Aku terbangun dari tidur dan mimpi itu, suara adzan Subuh dari mushola terdekatlah yang membangunkanku dalam tidur lelap tadi malam. Itu hanya mimpi saja. Aku bingung dan bertanya siapakah lelaki itu. Selesai Subuh, kubuka HP. Ada SMS yang tiba tadi malam, baru kubaca, dari tim redaksi tempatku bekerja, SMS dari Mbak Lestari dalam bahasa santun yang aku kenali sekali.
“Dewi, cepat  mana tulisanmu, deadline nih,” aku tak ingat lagi deadline yang mana. Sesuai permintaan Mbak Lestari, kubuka-buka buku kecil batikku. Hmm… ini berat sekali, aku sudah hubungi Ustadz Abdullah Zakaria untuk secara rutin mengirim kolom Hikmah pada majalah kami, rupanya pekan ini beliau belum mengirim tulisannya.  Aku bingung di pagi hari selesai Subuh ini, dibuat sibuk dengan kejadian tersebut. Kutelpon Ustadz Abdullah tak diangkat. Ini bukan waktunya pas untuk menelpon. Mungkin beliau masih beraktivitas di masjid mengisi kuliah Subuh.
Aku SMS saja beliau, pikirku. “Ustad Abdullah, mohon tulisan kolom Hikmahnya di kirim via email seperti biasa, jika tidak bisa mohon kontak saya. Terimakasih. Dewi.”
Ahh pagi ini begitu dikejar banyak deadline, membeli tiket pesawat karena Ibu mau pergi ke Medan menjenguk kakaknya yang sedang sakit, mengerjakan tiga makalah tugas kuliah S2-ku, novelku yang ketiga dengan tema religi yang sudah ditunggu penerbit bulan ini harus sudah terkirim, ohhh… kepala ini terasa mau pecah! Aku harus tarik nafas, aku harus tenangkan diri dahulu. Jalan kaki di Subuh hari pas tuk menenangkan ketegangan. Sehabis itu pastilah kumemulai tilawah Al-Quran satu juz.
Aku keluar dari komplek kos-kosanku, menikmati sesegar udara, angin terhembus menyentuh kulit dan rambutku. Angin sepoi ini menerbangkan beberapa helai rambut panjangku. Sudah saatnya jilbab kukenakan di masa muda, masa sekarang. Aku ingin sekali. Aku ingin. Panggilan hati sudah sangat terasa. Kebenaran itu pasti. Hati kecilku selalu iri melihat wajah wanita muslimah menggunakan jilbab dengan rapinya.
Klakson motor mengganggu ketenanganku. Suara itu dari belakang, ahh.. Rohmat teman baruku ini selalu saja begitu. Mentang-mentang motor baru dan seragam pegawai pabrik botol saos itu selalu ia kenakan. “Dew, kemana, olahraga dengan sandal jepit, jika tak serius duduk saja di teras sana… hehehe…” guyonan Rohmat seperti bisa itu sudah kuhapal sekali. “Saya pergi dulu yaa Dew, assalamualaikum,” Rohmat pergi dan sampai hilang dari penglihatan.
Yang satu ini aneh, selalu begitu. Dia hanya say hello. Sudah lama sekali kami tak ngobrol panjang lebar kesana kemari. Ah, biarkan Rohmat pergi, iklan berjalan. Ingat kejadian tadi barulah aku bisa tertawa lepas. Sandal jepit.
Sudah jauh aku melangkah pagi ini di komplek perumahan Intan, sejauh ini aku baru menemukan suara kicauan burung. Burung dalam sangkar itu bisa menunjukan dirinya dengan suara-suara merdu. Hmm, apakah para burung bisa bicara? Kira-kira mereka akan bicara tentang apa? Bebas lepas merdeka di hutan lindung aman dari polusi, serta dari gangguan tangan manusia.
Aku terus berjalan sehat. Aku harus menikmati hari-hari yang terus berganti ini. Hargailah nikmat sehat dengan berjalan kaki. Cukup dengan waktu 30 menit saja, semoga bisa.
***
“Baik ustad, kami tunggu emailnya sampai sore, malam akan kami edit dan naik cetak majalahnya,” jawaban SMS-ku pada Ustad Abdulah. Aku maklumi kesibukan beliau. Semoga sore hari bisa ada kabar baik.
Tiga makalah kuselesaikan perlahan-lahan, tiket pesawat sudah kupesan via rekan kantor yang biasa urus tiket pesawat.
“Dew, sudah pukul 13.00 nih, jangan lupa dikirim,” ahh Mbak Lestari ini, “Belom Mbak, sore hari Ustad Abdulah baru bisa kirim, nanti aku kabari lagi. Beres lah. Okee?” balasku di SMS.
Ringtone HP berbunyi… “Dewi, bagaimana tiket Ibu sudah kamu pesan? Bibimu sudah dipindahkan ke kamar khusus di Rumah Sakit Islam, Ibu harus pasti berangkat besok.”
“Oke bu, tiket satu jam lagi, Deni temanku akan mengantar tiketnya ke rumah,” balasku.
“Dew, mana powerpoint-nya? Lusa kamu harus sudah siap mengisi materi seminar menulis fiksi di komunitas baca Indonesia. Panitia menanyakannya malah ke aku. Kamu langsung kirim ke Riza ya. Dia seksi acaranya. Ditunggu cepat jangan pake lama,” kata-kata di SMS. Wow ampun dah makin banyak yang harus kukerjakan.
Ditambah lagi SMS dari pak Budiman, “Dewi, kerangka pidato Direktur Utama sudah dibuatkan dalam menyambut hari Pers Nasional, akan dimuat di halaman khusus majalah kita,”  bebanku nambah lagi.
Piring kotor masih numpuk di belakang, pakaian numpuk belum disetrika… makin numpuk nih! Malang hidup sebagai anak kost. Sampai kapan ini bisa berhenti, aku letih merintih sampai tertatih. Aku letih dengan banyak rutinitas deadline, aku mau lepas saja. Merdeka saja! Aahhh geram sekali!
Kulihat HP ada SMS, kubaca, “Maaf Mbak Dewi, saya tidak bisa mengirim tulisan tuk pekan ini, karena belum rampung, pada saat yang bersamaan saya harus segera ke Ponorogo, guru saya sedang sakit. Maaf ya mbak. Terima kasih,” SMS Ustad Abdullah.
Di saat yang sama ada SMS dari Rohmat, “Dewi, saya sudah kirim tulisan ke emailmu. Saya sudah sepekan ini membuat tulisan dengan tema Persatuan Umat Islam, sebenarnya saya masih belajar. Mohon masukannya ya!”
Dilihat dari gaya tutur bahasa tulisan Rohmat bisa sangat pas dimasukan dalam kolom Hikmah. Tak disangka pegawai pabrik saos ini, punya kelebihan. Kubalas SMS-nya, “Oke bagus tulisannya, aku masukan ke majalahku ya, klo sudah terbit kuberikan majalahnya padamu. Tolong kirim CV-mu ke aku.”
Maa syaa Allah, CV-nya membuatku kagum. Rohmat semuda itu sudah menjadi ketua DKM Masjid Hidayah. Dia ustadz pula, sering mengisi majelis taklim Ibu-Ibu, juga  sering ikut seminar kepenulisan. Beberapa pernah menulis untuk media koran lokal. Akan kujuluki dia Ustadz Rohmat Maulana di kolom hikmah. Bagus sekali ada variasi nama penulis kolom ini.
Kenapa hatiku deg-degan ya membaca CV Rohmat ini? Dari wajah dia tak jelek-jelek amat tapi dia terlihat shalih sekali. Inginnya… ohh… sudah hampir berumurkah aku, ingin sekali sudah memiliki imam dalam hidupku yang selalu sendiri ini. Memiliki imam di tahun 2014 ini.
***
Ibu kosku memberikan bungkusan kiriman, tampaknya kiriman dari Rohmat. Kubuka bungkusan dengan perlahan, ada dua buah jilbab putih, satu surat yang siap kubaca. Isinya kurang lebih ucapan terima kasih tulisannya sudah dimuat di majalah tersebut dan mendapatkan honor pula. Kado ini hanya ucapan terimakasih dan dia meminta agar saya menggunakan Jilbab yang rapi. Dan bertanya apakah saya sudah memiliki calon suami.
Hatiku bergetar dibuatnya. Tak disangka ada lelaki yang bertanya seperti ini, pertanyaan serius. Di awal tahun 2014 ini, wow! Hatiku melayang tak menentu. Ada secercah harapan dalam tulisan surat ini. Apakah dia ya Rabb, imamku di masa nanti? Selama penantiaan yang lama ini, umurku hampir mendekati 30 tahun. Sudah sewajarnya di umurku ini aku telah menikah dan memiliki anak seperti teman-temanku. Apakah ini jawaban dari Allah SWT atas doa-doaku dalam shalat malamku dan shalat hajat dalam hari-hariku, atau doa dari orangtuaku.
Dua jilbab putih ini, hmm… aku tak bisa membayangkanya jika terpakai, kucoba di cermin, rasanya diriku tampak cantik tampak nyaman hati ini. Rasanya sudah waktunya aku menggunakan jilbab ini, memang sudah waktunya. Tak bisa ditunda-tunda. Sudah banyak artikel Islam dan kolom hikmah yang aku baca sebelum diterbitkan di majalah. Aku editor dalam tim redaksi. Aku yakin ini pertanda jilbab sudah harus kukenakan, karena ini hukumnya wajib bagi muslimah.
Nada musik klasik ringtone-ku berbunyi. Ustadz Rohmat menelponku bertanya apakah kiriman itu sudah tiba dan dibuka. Ustadz Rohmat meminta aku jika berkenan mengenakan jilbab yang rapi dan datang ke rumah Ustadzah Herlina esok lusa.  Aku jawab insya Allah.
***
Pagi ini rasanya lain. Kukenakan jilbab putih dan pakaian bernada coklat muda. Kusiapkan diri datang ke rumah Ustadzah Herlina. Rasa penasaran itu makin tak menentu. Jantungku mulai berdegup-degup kencang. Semoga tak grogi, semoga saja, aku terus berdoa. Apakah ini proses ta’aruf itu? Dalam benakku aku terus bertanya-tanya. Apakah Ustad Rohmat mau ta’aruf denganku lalu melamarku? Ahhh… apakah sejauh itu apakah seserius itu?
Ustad Rohmat, Ustadzah Herlina serta suaminya dan aku dengan rasa gugup ini sudah berada di ruang tamu. Tersaji teh madu hangat dan cemilan kue-kue kering. Aku masih gugup. Mereka bertiga sesekali melihatku sepertinya mereka takjub atas perubahanku terkait pakaian yang kugunakan. Ustadzah Herlina memulai pembicaraan dalam keheningan ruangan itu.
“Saya ucapkan terimakasih Dewi sudah bisa datang dalam undangan ini. Subhanallah ya dengan Dewi gunakan jilbab jadi terlihat lebih anggun, lebih bersinar wajahnya,” aku tersipu-sipu atas pujian itu.
“Langsung saja ke intinya ya. Ustadz Rohmat ini dua minggu lagi akan menikah dengan Mbak Tias, mungkin Ustadz Rohmat hari ini akan memberikan undangan pernikahannya ke kamu, hadir yaa!“
Mendengar kabar itu, rasanya badan ini lemas. Harapanku mulai hancur lebur berkeping-keping jadi debu. Seperti jatuh dari ketinggian gedung berlantai 30, remuk. Ini salahku, mengapa kubiarkan perasaan dan harapan-harapan berhembus dalam pikiranku. Ahh.. belum rejeki menikah di tahun ini. Harapan tinggal harapan… kuterima surat undangan itu. Tanganku tak kuat menerimanya. Senyumku kupaksa keluar kuterima dengan berat hati. Hatiku terus bicara, begitu senangnya Tias mendapatkan suami seperti Ustad Rohmat. Beruntung sekali dia.
Mataku terus tak percaya melihat undangan pernikahan putih ini. Aku tak percaya. Lalu hadiah jilbab itu untuk apa? Apa pesan yang akan disampaikan Ustad Rohmat? Hanya inikah, hurat undangan pernikahanya? Pertanyaan berkelebat dalam benakku.
“Dew, ada hal yang penting juga yang akan disampaikan Ustadz Rohmat ke kamu selain berita undangan pernikahannya. Silahkan Ustadz disampaikan, semoga sukses rencana baik ustadz,”  Ustadzah Herlina memecah keheningan lagi.
“Begini Dewi, terima kasih kamu sudah menyediakan waktu untuk datang ke sini. Saya dapat amanah dari Ibu saya untuk mencari wanita solehah yang baik sejak dua bulan yang lalu, tapi saya belum menemukannya, namun saya melihat dan bertanya pada Ustadzah Herlina, berdiskusi tentang kamu, apakah bisa dijadikan calon Istri.”
“Calon Istri? “ aku memotong.
Kenapa aku, kenapa calon istri, apakah aku solehah, untuk siapa calon istri yang dimaksud? Benakku banyak bertanya.
“Ya calon istri buat adikku, Andriansyah, dua bulan lagi dia selesaikan kuliah S2-nya di Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan. Bidang sejarah. Dia juga pandai dalam menulis, banyak tulisan artikelnya sudah terpublikasi. Ibuku meminta dia agar segera menikah juga di tahun ini dengan orang Indonesia. Ibu mengkuatirkan jangan sampai dia suka dengan muslimah Timur Tengah. Ibuku nekat banget dengan ilmu ‘pokoke’ si Andriansyah harus menikah dengan orang Indonesia. Syukur-syukur dapat orang Jawa. Semoga kamu bersedia untuk kami jodohkan dengan adikku ini. Ini foto dan CV-nya. Bisa kamu pelajari dan istikharah, dan tambahan info dia juga seorang ustadz muda sering diminta untuk ceramah, karena memiliki latarbelakang pesantren di Gontor Jawa Timur.”
“Dew, ini bukan paksaan lho, kita cuma berusaha saja, siapa tau kalian berjodoh. Namanya juga ikhtiar ya,“ Ustadzah Herlina senyum-senyum menggodaku.
***
Tanpa diduga, aku akhirnya menikah dengan Andriansyah. Inilah jodoh. Inilah takdir. Datangnya tak terduga, tak terkira. Alhamdulillah shalat malamku terus kujalani dan shalat hajatku serta shalat sunah-sunah tetap kujalani. Aku selalu kubersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmatnya. Suamiku orang yang shalih, perhatian sekali, baik sekali, dia membimbingku, hobi kami sama di bidang tulis menulis dan mengajar di seminar-seminar. Kami bersatu padu dalam mimpi-mimpi kami, dalam jalan dakwah. Ini barulah mimpi, yang kunamakan mimpi indah sampai ke langit.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/02/14/46250/menikah-mimpi-indah-sampai-ke-langit/#ixzz31Cqmn3On
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Kutemui dan Kunikahi Engkau di Masjid (Masjid, ich bin verliebt)


menikahdakwatuna.com – Siang itu, cuaca tidak terlalu baik. Musim dingin di Berlin mencapai -0,5̊ C. Jalanan kota tampak lengang. Bisa ditebak, separuh penduduk kota ini sedang berada di depan perapian masing-masing, menghangatkan diri. Aku tiba di Masjid Umar bin Khaththab jam dua belas. Masih ada waktu kosong dua jam sebelum jadwal mengajar al-Quran di Masjid ini. Untung saja, masjid ini memiliki restoran di tingkat atas sehingga aku tidak perlu keluar lagi untuk mencari makan siang.
Masjid yang diresmikan pada 21 Mei 2010 ini terdiri dari tujuh lantai. Dua lantai untuk tempat sholat dengan daya tampung seribu jamaah. Di setiap lantainya, terdapat fasilitas umum seperti kantor jasa perjalanan, sekolah al-Quran dan Bahasa Arab bagi anak-anak, toko buku, cafe, restoran, jasa pelayanan kematian bagi umat muslim, hingga toko daging halal pun ada.
Aku memesan Kohlsuppe (sup kol) dan Erbsensuppe (sup kacang polong) dan teh hangat.
“Assalamu’alaikum, Mas Faris,”
“Wa’alaikum salam. Hafiz? Lama tidak bertemu. Kamu di Jerman juga? Kamu dari mana?”
“Dari toko buku, Mas. Senang sekali bisa bertemu dengan Mas Faris di sini. Bertemu dengan saudara setanah air itu ibarat bertemu telaga surga. Sejuk.” Ia nampak sangat sumringah.
“Sudah lama di Jerman, Fiz? Study di sini?”
“Lah, mas ini tinggal di Jerman kok bahasanya Inggris? Ia Mas, baru tahun kedua. Kedokteran. Do’a kan ya, biar lancar.”
“Udah tahun kedua kok ketemunya baru sekarang ya?”
“Kalau itu, jawabannya bisa ada beberapa kemungkinan, Mas. Kalau ndak saya atau mas yang sibuk, berarti memang baru ini takdirnya untuk ketemu. Hehehe..”
“Kamu kenapa nggak ngabarin, Mas? O ya, kamu sudah pesan makanan? Ayo pesan, biar mas yang traktir. Biasanya kan kantong anak kuliahan terbatas bulanan.” Candaku.
“Ah, sampean ini mas. Pengertiannya menusuk hati sekali. Hehe..”
Benar yang Hafiz katakan, bertemu saudara sendiri seperti menemui telaga surga. Sejuk. Dinginnya cuaca pun berganti hangat tawa. Hafiz, adik sepupuku dari Malang ini bercerita banyak tentang pengalaman tahun pertamanya di kampus dan tinggal di Jerman. Setelah shalat zhuhur, aku pun mengajak Hafiz turut serta bersamaku mengajar anak-anak mengaji al-Qur’an. Dua jam berlalu. Setelah shalat ashar berjamaah, murid-muridku pun pamit pulang. Aku senang dengan semangat mereka belajar mengaji. Meskipun cuaca dingin, mereka tetap hadir untuk mempelajari kalam al-Qur’an. Aku pun berjanji mengajak mereka liburan setelah musim dingin berlalu, sebagai reward atas semangat mereka.
“Kalau begitu, saya pamit pulang ke asrama ya, Mas.”
“Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sama mas. Mas kan tinggal sendiri di sini.”
“Makanya, Mas Faris harus menikah biar tidak tinggal sendiri lagi. Sudah 25 tahun, kan? Ganteng, soleh, mapan pula. Tunggu apa lagi?”
“Tunggu jodohnya, hehe..”
***
Turun ke lantai satu ruang sholat, aku dan Hafiz berpapasan dengan Sarah yang tengah memeluk seorang wanita. Wanita itu menangis sesengkuan di bahunya.
“Ru..qaya?” Panggil Hafiz sedikit ragu. Wanita yang berada dalam pelukan Sarah berpaling melihat ke arah Hafiz.
“Kenapa kamu menangis?”
Wanita yang bernama Ruqaya itu menghapus air mata dengan jemarinya. Ia tersenyum ke arah Hafiz dan aku, “Insya Allah, Alles Gute.”
“Katakanlah, bukankah kita teman?”
Sarah mengajak kami untuk berbincang di kafe. Di sana Ruqaya menceritakan sebab tangisannya kepadaku dan Hafiz. Ruqaya yang bernama asli Natalia Anne Muller, berasal dari keluarga nasrani yang taat. Setengah tahun yang lalu, ia menjadi mualaf di Masjid Umar Bin Khaththab karena tersentuh oleh bacaan al-Qur’an seorang pemuda yang ia dengar. Padahal saat itu, ia datang ke Masjid Umar hanya untuk melihat interior dan kemegahan masjid baru ini.
Setelah itu, ia pun kerap datang ke masjid ini. Disitulah ia berjumpa dengan Sarah. Karena sering mengobrol dan bertanya ini itu tentang Islam, mereka pun akhirnya menjadi teman akrab. Sarah yang tiga tahun lebih tua dari Ruqaya, sudah menganggap Ruqaya seperti adiknya sendiri. Lima bulan perjalanannya sebagai mualaf, Ruqaya sudah hafal Juz ‘Amma. Ia dibantu Ustadzah Yasmin, salah satu staf konsultasi masjid Umar. Namun di tengah proses  belajarnya sebagai muslim, sebulan yang lalu rahasia kemuslimannya pun diketahui oleh keluarganya.
Ketika itu, Ruqaya sedang shalat Maghrib di kamarnya. Di tengah sholat, ayahnya memanggil dan mengetuk pintu kamar. Karena Ruqaya tidak menjawab, ayahnya pun membuka pintu kamarnya.
“Natalia!” Teriak ayahnya, murka. Namun Ruqaya tak menjawab, ia tetap tenang dalam tasyahud akhirnya. Ia tak merespon teriakan ayahnya sampai shalatnya selesai.
“Sudah kuduga, ada yang lain dari dirimu. Mengapa tadi kau tak ikut makan siang bersama. Beberapa minggu yang lalu, temanku juga menelepon mengatakan bahwa ia melihatmu memasuki masjid. Aku pikir, ia hanya salah orang. Tetapi sekarang aku melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kamu akan mendapatkan hukuman atas ini, Nat! Ayo ikut Ayah!”
“Ayah, setiap orang bebas memeluk agama yang ia yakini kebenarannya.”
“Mungkin untuk orang lain bisa, tapi kau anakku! Aku yang mengatur hidupmu!”
Saat itu juga, ayahnya memukuli, menarik paksa dan menyeret Ruqaya ke gudang. Ia dibiarkan tinggal di sana. Bahkan, tak ada yang memberinya makan malam. Keadaannya cukup lemas karena saat berbuka puasa sunah tadi, ia hanya meminum seteguk teh. Di hari ketiga, ibunya diam-diam memberinya selimut, beberapa potong roti dan segelas susu. Ia tidak tega melihat Ruqaya tidur di lantai tanpa beralas apapun di musim dingin ini. Ruqaya merasa lega, karena ibunya tidak membenci dirinya atas pilihan hidup yang ia ambil.
“Bila menurutmu ini yang terbaik untuk kau jalani, maka laluilah dengan keimananmu, Nak. Semoga Tuhan menjagamu.”
Hari berikutnya, ayahnya memperlakukan Ruqaya seperti budak. Ia disuruh kerja ini itu, tanpa memberinya waktu istirahat dan makan yang cukup. Melihat keadaan Ruqaya yang semakin mengenaskan, tadi malam ibunya menyuruh Ruqaya untuk pergi dari rumah. Ia tidak ingin Ruqaya diperlakukan terus-terusan seperti itu. Kalau Ayahnya nekat, sewaktu–waktu, bisa saja ia menjual Ruqaya. Aku dan Hafiz terdiam mendengar penuturannya. Aku memandang Ruqaya sekilas, ada memar di pelipisnya. Hafiz, tiba-tiba menarikku sedikit menjauh dari Sarah dan Ruqaya.
“Ada apa, Fiz?”
“Mas, saya pikir kamu sudah menemukan jodohmu,”
“Maksudmu Ruqaya?”
“Mas, saya berani menjamin bahwa ia wanita yang baik, bahkan jauh sebelum ia menjadi mualaf. Apalagi setelah sedemikian beratnya cobaan yang dia hadapi demi hijrahnya.”
Aku tersenyum, “Tidak usah khawatir, sebelum kamu minta, tadi juga sudah terlintas dipikiran Mas. Bagaimanapun juga, menyelamatkan jiwa seorang muslim itu wajib.”
Alhamdulillah, saya memang tidak salah mengagumi orang.”
Aku dan Hafiz kembali ke meja kami. Dengan Bismillah kuutarakan niatku, “Saya tidak tahu, apakah yang saya sampaikan ini cukup membantu atau tidak, tetapi bila diizinkan, saya bermaksud menawarkan diri saya untuk menikahimu, Ruqaya.”
Sarah tampak kaget, namun sedetik kemudian tersenyum, Hafiz tampak bersemangat sekali, dan Ruqaya malah menangis memeluk Sarah? Apa ia tidak suka?
“Kalau kamu tidak setuju juga tidak apa-apa, tapi kumohon jangan menangis.” Ucapku merasa bersalah.
“Ia terharu. Ini tangis bahagia, bukan bersedih Faris.” Jelas Sarah. Aku hanya ber ‘O’ saja, sementara Hafiz menertawaiku. Alhamdulillah.
Saat itu juga, aku mengabari staf Masjid Umar bin Khaththab untuk proses akad besok. Ruqaya ingin menikah di masjid ini. Karena aku juga mengajar di masjid ini, jadi banyak pihak yang turut membantu dengan suka rela pernikahan kami.
***
“Wah, cakep sekali sampean, Mas. Makin keluar nih aura kebahagiaan calon pengantin.” Goda Hafiz saat melihatku keluar kamar dengan pakaian pengantin.
“Dari dulu mas memang sudah cakep. Hehehe..” Karena kejadian semalam, Hafiz tidak jadi pulang ke asrama. Ia menginap di rumahku untuk membantu proses acara hari ini. Ruqaya sendiri menginap di apartemen Sarah. Jam sembilan kami tiba di masjid dan langsung proses akad dilaksanakan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Ruqaya binti Jhon Muller dengan mas kawin seperangkat alat sholat, sebuah mushaf al-Quran, dan uang sebesar 15.000 Euro dibayar tunai.”
“Sah? Barakallahulaka..,”
***
“Mas, kita ngaji bareng yuk?” Ajaknya setelah kita sholat subuh bersama. Aku tersenyum mendengarnya. Istriku tercinta langsung mengambil dua al-Quran yang terletak di atas meja kerjaku.
“Mas yang baca terlebih dahulu, setelah itu baru saya.”
Aku memulai dengan ta’awudz dan basmalah. Kubaca surah ar-Rahman. Hingga pada kalimat, “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?” Ruqaya menangis. Terus menangis sesengkuan.
Aku menghentikan bacaanku, “Kamu tidak apa-apa, Dinda Sayang?”
“Saya merasa bersyukur sekali dengan nikmat yang Allah berikan. Kamu tahu? Mas adalah jembatan cahaya dari cahaya yang kudapatkan.”
“Maksud Dinda?
“Kamu tahu kan saya mendapat hidayah untuk memeluk Islam karena mendengar bacaan al-Quran di Masjid Umar? Dan orang yang membaca al-Quran itu adalah kamu, Mas. Dan saya tidak menyangka karena pada akhirnya kamu juga yang menyelamatkan hidup saya dari keterasingan keluarga sendiri. Kamu memuliakan saya dengan menjadi pendamping hidupmu. Maka nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan? Allah sangat menyayangi saya.” Ucapnya masih dengan tangis sesengkuan.
“Allah menyayangi kita, Dinda. Mas juga sangat bersyukur memiliki istri soleha seperti Dinda yang terus giat mempelajari Islam. Menyukai semua hal tentang Islam. Begitu sami’na wa atho’na terhadap seruan Allah. Kamu yang mas pinta untuk menjadi bidadari surga mas kelak.” Aku mencium dahinya. Ia tenang, diam dalam pelukku.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/14/49571/kutemui-dan-kunikahi-engkau-di-masjid-masjid-ich-bin-verliebt/#ixzz31CqQR6Mg
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Kamis, 08 Mei 2014



Pesan Singkat Pagi Ini

Sama seperti hari-hari biasanya, setelah acara olahraga pagi di salah satu stasiun televisi swasta, saya berkemas menuju kantor. Masih terbayang sms semalam dari orang asing yang sebentar lagi menjadi bagian dari hidup ku, insyaALLAH…
Tak terasa peralanan ku sudah sampai alan utama kota ini. Di pinggir jalan, bus kantor sudah menunggu, sedangkan ada beberapa kawan kerja yang asyik diskusi di belakang bus sambil memegang koran terbitan setiap hari. Tak seperti biasanya aku langsung masuk ke bus dan duduk  di bangku paling belakang. Sengaja ku pilih di sana karena bisa leluasa baca koran  yang ku beli pagi ini. Dan tentu saja bisa ku baca-baca  lagi sms semalam yang dikirim oleh si dia, orang asing tersebut
“Dengan niatan yang sama, mengharap ridho Allah SWT saya juga memiliki rencana yang sama dengan Mas. Saya terima niat baik Mas untuk membangun rumah tangga”
Pesan singkat itu tak sesingkat kesannya, berulang kali aku baca pesan itu. Tak pernah bosan rasanya. Justru semakin aku baca semakin sadar begitu banyak nikmat ALLAH SWT yang tercurah pada ku. Jujur aku merasa begitu malu dengan semua nikmat itu sedang aku jarang sekali bersukur.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, memikirkan semua yang telah ku lalui. Sungguh begitu singkat proses  yang ku jalani. Tak kurang dari 2 minggu sudah ku jalani. Hingga tadi malam ku sampaikan niat untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Sudah tak ada lagi alasan untuk menunda. Sudah tak ada lagi alasan untuk menghindar. Kini semua kuserahkan pada MU ya rob…..
Bimbinglah setiap proses ini…
Jagalah niat kami, luruskan karena mengharap ridho MU
Jadikan kami tergolong dalam orang-orang ahli syukur atas semua karunia MU
Mudahkanlah langkah-langkah kami…
Kekalkan ikatan di antara kami
Jadikan rumah tangga kami adalah sebagian dari rumah tangga peradaban penuh cahaya MU
Jadikan kami pengantin dunia akhirat… istiqomah di alanMU
Aamiin

Menguatkan kembali mengasah minat menulis J
Teruntuk calon permaisuri ku, adilah penyeuk mata penyeuk hati J


NIRU, 09052014

Surprise Cinta


Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – “Waduuuh… Ternyata jadi reporter ribet juga ya?” Keluhku pada Sanjaya, juru kamera yang selalu ada di sampingku. Kemana-mana kami selalu bersama, kalau kata orang nih, kami lengket kayak prangko, hehe.
Inilah aku Alexa Lovato, muslimah yang hijrah secara kaffah1 di waktu kuliah dulu, aku anak Psikologi yang bercita-cita menjadi Psikolog Anak, tapi nyasar jadi reporter. Entahlah, mungkin takdir yang membawaku ke dunia ini, dunia yang penuh dengan tantangan. Semangat!
25 Juni 2009
Inilah hari pertamaku sebagai seorang reporter muda alias junior. Teman-temanku tidak ada yang percaya saat kubilang diterima di salah satu stasiun TV sebagai reporter. Kebanyakan mereka berkomentar soal jilbabku, apa gak gerah dengan cuaca yang amat sangat panas? Apa gak berkibar tuh jilbab kalau lagi lari-lari ngejar sumber  info atau tersangkut di pagar orang pas lagi meliput atau ditarik sama anak-anak dikirain layangan? Banyak deh komentar-komentar aneh yang menggelikan tentunya. Bagiku, semua itu adalah bunga-bunga kehidupan.
7 September 2009
Tugas pertamaku yang bikin nervous bin deg-degkan karena stasiun TV kami satu-satunya yang diperbolehkan meliput kehidupan sehari-hari salah seorang pemain sepak bola nasional. Dia lagi hot-hotnya diperbincangkan masyarakat. Dalam waktu dekat, dia akan mengikuti kejuaraan Internasional. Aku masih belum percaya dikasih tugas sepenting ini. Aku kan masih baru di dunia ini. Tapi bosku bersikeras kalau aku orang yang paling tepat untuk tugas ini. Okelah Bos kalau begitu. Aku akan berusaha memberikan yang terbaik.
Amanah pertama yang penuh tantangan. Mudah-mudahan ini bisa menjadi batu loncatan agar bisa lebih kompeten. Liputan ini pasti cukup melelahkan karena aku akan meliput kehidupan sehari-hari seorang atlet yang super sibuk dari terbit sampai terbenam matahari, dari mau tidur sampai tidur lagi,  selama seminggu. Seminggu….!
Duuuhhh…..terasa makin berat saja tugas ini.
9 September 2009
Besok  pertempuran sudah dimulai, ngisi amunisi dulu ah…. Tahajjud dengan bumbu tilawah secukupnya  kurang lebih satu juz. Mudah-mudahan tugasku ini bisa berjalan dengan lancar, aamiin.
10 September 2009
Gak nyangka reporter kelas teri sepertiku ini bisa jadi bahan obrolan teman-teman sekantorku. Bahkan reporter papan atas juga ikutan ngegosipin reporter papan pintu ini! hehe. Heran…heran.
Sebagai wanita berjilbab kain gorden (kata rekan kerjaku dalam guyonannya,hehe) satu-satunya di tempat kerjaku ini, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Aku tidak habis pikir bakalan digosipin sama si Bos cuma gara-gara dia memberikan tugas ini.
Aku sich gak apa-apa. Santai saja. Dan memang tidak ada apa-apa. Tapi kasian dengan si Bos. Mr. Zoe, begitulah aku memanggil bosku. Di usianya yang masih cukup muda, 28 tahun, ia sudah ditinggal oleh istri tercinta. Lebih kasian lagi, Kafka, bocah yang baru berumur dua tahun itu sudah tidak bisa merasakan dekapan, lembut belaian, hangatnya ciuman dan perhatian dari ibunya. Uuhh… Jadi sedih, ingat ibu di kampung.
Baru dua bulan yang lalu si Bos ditinggal mbak Ayu, istrinya. Air matanya pun belum kering. Eh, sudah digosipin sama anak-anak, ckckck. Teganya, tega…tega….tega!
Tega banget sich ngegosipin aku ada hubungan spesial sama Bos? Sampai ada yang bilang Bos memberi tugas ini supaya bisa PDKT. Karena menurut mereka, si Bos sedang mencari ibu baru buat Kafka. Katanya sih, kriterianya tidak jauh-jauh dari mbak Ayu. Meski jilbabnya almarhumah mbak Ayu gak sepanjang jilbabku, tetapi sudah memenuhi kriteria jilbab syar’i. Nah, itu dia alasan mereka.
Pinter banget ya mereka kait-mengkaitkan kondisi orang? Jadi kesal juga nih. Biarkanlah apa kata mereka seperti kata pepatah, “Anjing menggonggong kafilah berlalu.”
11 September 2009
Tidak terasa, dua hari sudah berlalu dengan terus mengikuti kegiatan si pesepak bola. Alghi, biasa ia dipanggil. Tapi aku mulai merasa tidak nyaman. Apa mungkin gosip yang kuanggap murahan itu ternyata benar adanya? Si Bos memang menginginkan aku jadi ibu buat Kafka? Oh, Rabb… (aku kok jadi senyum-senyum begini?).
Gimana gak aku berpikiran sedemikian rupa, habis si Bos tiap hari nanyain biodataku mulu. Dari kegiatanku sehari-hari di luar kerja sampai kondisi lingkungan dan keluargaku. Tidak puas apa si Bos dengan data yang sudah ada di file kantor? Aku jadi GR ney, hehe.
Bingung jadinya, sekarang yang diliput siapa sih? Aku atau Alghi? Kok sepertinya aku yang banyak diinterview sama si Bos. Belum lagi ditambah Alghi nan sombong. Ihhh, geram! Senyum saja gak mau. Aku kan hanya berusaha seramah mungkin. Masa’ pas aku senyumin dia malah buang muka? nyebelin banget kan? Baru jadi pesepak bola nasional, gimana coba kalau dunia Internasional mengenalnya? Tidak bisa kubayangkan!
Sabar, Lex. Sabar…
13 September 2009
Eh….eh…., si Bos makin gencar saja kayaknya. Lama-lama capek juga ladenin pertanyaan si Bos. Gak tahu apa dia kalau aku ini aktivis dakwah? Kalau memang naksir aku, ya sudah, bilang saja langsung sama murobbiyahku2. Tapi si Bos mana ngerti istilah murobbi ya?
Belum lagi dengan Kafka, kayaknya si Bos berusaha keras supaya aku bisa dekat dengan anaknya itu. Masa’ Kafka dibawa ke lokasi shooting dan kalau Kafka ingin ini itu, aku yang disuruh ngurusin. Aku kan reporter yang lagi meliput seorang atlet yang sok cool bukan babby sitter Bos?!
Sebenarnya sih tidak masalah kalau aku disuruh ngurusin Kafka karena memang aku suka banget sama anak-anak seperti cita-citaku yang belum kesampaian menjadi Psikolog Anak. Tapi masalahnya, Alghi si atlet yang tidak mau senyum itu malah sering mentertawakan aku pas ngurus Kafka. Memang, aku suka dan sering berinteraksi dengan anak-anak. Tapi kalau ngurus keperluan seorang anak berusia dua tahun dari A sampai Z aku kerepotan juga. Inikan pertama kalinya bagiku. Dasar atlet tidak punya perasaan?! Aku kan malu kalau sering diketawain begitu. Lihat saja nanti kalau kamu sudah punya anak dan istrimu tidak pernah belajar ngurusin anak seperti aku sekarang ini! Kujamin deh kalian bakalan kerepotan dan gantian aku yang bakalan mentertawakan kamu. Ilmu tendang-menendang bolamu itu tidak berguna untuk urusan yang satu ini. Tenang, Lex, tenang. Don’t be angry!
15 September 2009
Hari ke lima meliput Alghi. Dan hari ke tiga si Bos bawa Kafka ke lokasi. Kayaknya aku sudah mulai sayaaaaang banget sama Kafka. Walaupun baru tiga hari bersama, kami sudah bisa dekat. Aku juga heran, tumben anak kecil seperti Kafka ini bisa cepat ditaklukinnya. Deg, jantungku berdetak, kencang, sedikit menyesakkan, apa ini pertanda?
Ini memang memperkuat dugaanku tentang si Bos. Apa iya si Bos bakal jadi teman hidupku? Jadi orang yang selalu ada di sampingku? Aku tidak menyangka bakal langsung punya anak umur dua tahun. Ini berarti doaku tiap malam untuk ditemani oleh seorang hamba Allah yang aktifis dakwah nan tangguh, seorang yang akan menuntunku untuk lebih dekat dan mencintai Rabbku tidak diijabah?3 Dan kalau si Bos, kayaknya malah aku yang harus menuntun dia untuk mengenal dakwah. Hikz….hikz.
Tapi kalau dilihat-lihat, si Bos rajin juga sholatnya. Malah pernah menjadi imam sama Alghi. Si atlet arogan itu rupanya juga sholat. Keren, keren. Kan jarang ada atlet yang menyempatkan sholat di tengah-tengah latihannya.
17 September 2009
Hari perpisahan kami dengan Alghi. Tapi sepertinya, aku belum mendapat kesan positif darinya. Bagaimana mau membuat laporan semenarik mungkin tentang Alghi? Kemarin saja, kertika aku bertanya ini itu tentang kesehariannya dan ini masuk dalam salah satu tugasku sebagai reporter, dia cuma menjawab dengan sangat-sangat singkat dan tanpa ada ekspresi. Kirain dia sudah jadi mayat hidup yang baru dikeluarin dari kulkas saking sok coolnya.
Dan yang membuat aku terkejut, pas perpisahan tadi Alghi nyamperin dan minta maaf. Aku juga diberi bonus senyuman. Meski tidak manis-manis amat, tapi lumayanlah dari pada dia nunjukin muka tanpa ekspresinya. Ih… kan serem?!
Aku jadi lega, kukira aku cuma mendapat pengalaman buruk saja selama meliput Alghi. Tapi Alhamdulillah, masih ada pengalaman bagusnya meskipun di detik-detik terakhir. Jadi, sekarang aku sudah bisa membuat laporan yang menarik tentang seorang atlet bernama Alghi.
25 November 2009
Tulilit, tulilit. Sepertinya ada sms. Uups, dari kak Mashitoh, murobbiyahku. Tumben ini kak Mashitoh nyuruh aku menemui dia dan harus sendirian.
Sendirian? Kata orang, kalau murobbi ingin jumpa mutarobbinya4 sendirian, biasanya sebentar lagi bakal ada walimahan. Duh, aku jadi gugup nich. Sepertinya feeling aku benar. Soalnya dari kemarin, si Bos makin ramah saja. Sering nyapa sambil senyum-senyum gak jelas lagi. Tapi si Bos, mana mungkin ya? Dia kan tidak mengerti apa itu murobbiyahku, tata cara mengkhitbah5 dengan syar’i, dll. Jadi siapa?
***
27 November 2009
Waduuuh, makin penasaran saja. Walaupun tadi jantungku sempat mau copot, nafasku seakan berhenti dan aku serasa melayang pas kak Mashitoh bilang kalau ada ikhwah yang mau mengkhitbahku, tapi siapa? Kak Mashitoh tidak mau memberi tau, dia hanya bilang kalau aku sudah kenal dan dia hanya ingin memastikan kalau aku sudah siap atau belum untuk melaksanakan ta’aruf6. Umurku sekarang 24 jalan 25 tahun. Aku sudah mempersiapkan mental jauh-jauh hari karena hal ini memang sudah kunanti dari usia 23 tahun. Hehe.
1 Desember 2010
Semalaman aku tidak bisa tidur, kutenangkan batin dan hatiku yang lagi kacau balau dengan menjumpai Robbku di pertiga malam.
2 Desember 2010
Assalamualaikum, Kak. Sepertinya Lexa sedikit terlambat karena jalanan macet, ‘afwan7”, kukirim via sms ke nomor handphone kak Mashitoh.
Aku memasuki rumah kak Mashitoh dengan zikir tanpa henti (kayak mau jumpa jin saja, hehe). Dan waktu kakiku menginjakkan teras kak Mashitoh, aku mendengar suara khasnya si Bos, “Ya Robb, kupasrahkan semua pada-Mu. Kalau si Bos memang jodohku, berikanlah ia hidayah untuk menjadi seorang da’i yang tangguh.” Gumamku dalam hati.
Setelah mengucapkan salam, kak Mashitoh mempersilahkan aku untuk duduk. Aku terlambat 20 menit dari perjanjian. Kulirik orang di sekitarku, kudapati si Bos sedang melihat ke arahku sambil tersenyum simpul. Mata kami bertemu, nyessssss. Rasanya aku mau pingsan. Aku juga merinding bukan karena senyumnya Mr.Zoe, horor. Tapi mungkin hormon di badanku ikutan grogi sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Tiba-tiba, Alghi si atlet arogan yang sedikit baik itu nongol dari belakang dengan muka dan kedua tangan yang basah. Sepertinya dia baru selesai mengambil air wudhu. Duuuhhh, ngapain juga itu anak ada disini?
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Salam si Bos menghentikan otakku yang sedang berspekulasi sendiri dengan dunianya. Panjang lebar bos bercerita tentang awal dia jumpa aku di kantor, tentang bagaimana cara dia mengetahui kepribadianku, dan cara dia ngetes aku apakah sudah pantas untuk jadi istri seorang atlet dan jadi seorang ibu yang baik. “Stop. Tiba-tiba otakku menggaris bawahi kata ‘seorang atlet’, seorang atlet?”.
Jadi ikhwah yang dimaksud kak Mashitoh bukan Mr.Zoe, tapi si atlet arogan itu. Tapi jujur, sejak pertama kali jumpa sama Alghi aku memang merasakan suatu bentuk baru dari kebahagiaan. Dan satu hal lagi, nyaman dan damai banget apalagi kalau lagi ngobrol atau lebih tepatnya wawancara sama dia. Tapi semua rasa itu sebisa mungkin kutepis, apalagi melihat dia yang seorang atlet dan yang kukira bukan seorang aktivis dakwah. Dan sekarang semua sudah jelas, si Bos ternyata teman semasa kuliahnya mas Taufik, suaminya kak Mashitoh. Dan Alghi teman semasa SMAnya si Bos. Dan liputan itu adalah sebuah kesengajaan. Skenario yang indah  tapi sedikit menyebalkan rancangan si Bos.
Dan ketiganya merupakan aktivis dakwah. Bahkan Alghi yang kuanggap oon dakwah mengisi dua kelompok halaqoh8 di sela-sela aktifitasnya sebagai atlet sepak bola. Salut deh buat calon suamiku tersayang, hehe.
9 Februari 2010
Ijab Qabul sudah diucapkan, Alghi yang sudah menjadi suamiku semenit yang lalu terus menatapku. Bukan karena aku dandan cantik, tapi karena sebelum dan sesudah ijab qabul mataku tidak mau berhenti mengeluarkan air mata kebahagiaan. Alghi suamiku yang merupakan seorang atlet adalah surprise terindah dari Allah yang kutemukan di jalan dakwah ini. Syukurku selalu dalam hati atas surprise cinta dari Allah, Robbku tercinta.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/05/02/50664/surprise-cinta/#ixzz31CIiTLsu
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 02 Oktober 2013

Menyegarkan Niat



Menyegarkan Niat
Assalamualaikum….

Sahabat-sahabat ku, terik siang ini saya merasakan adanya teguran atas doa2 ku selama ini. Taukah kamu kira-kira doa apa itu ??

Ya, setiap saat aku ingin bisa istiqomah di jalan Allah SWT. Di sela-sela tugas kantor, sembari bersandar pada kursi teringat oleh ucapan sahabat seperjuangan dulu. “Menulis sebagai bentuk membina diri, dan juga orang besar selalu bisa menyampaikan gagasan melalui tulisan”

Intinya adalah menulis sebagai bentuk pembinaan diri untuk tetap bisa “bertahan”. Dengan menulis kita bisa menyampaikan gagasan bukan sekadar kepada satu atau dua orang saja. Bisa jadi lebih dari itu. Saya pun percaya buku bisa melebihi umur penulisnya. Oleh karena itu saya ingin mengawali niat itu kembali. Menulis…menulis…. dan menulis.

insyaALLAH dengan niat yang sudah disegarkan, akan ada banyak jalan untuk bisa istiqomah… termasuk saat ini jam sudah menunjukkan 13.05. jam kerja kembali aktif. Seiring dengan aktif kembali niat ku untuk menulis…. 

Semoga dimudahkan, aamiin

Wassalamualaikum


Niru, 3 Oktober 2013
wahyuadekurniawan

Kamis, 05 April 2012

Ketika Akhwat Mengajukan Diri

Ketika Akhwat Mengajukan Diri

12/1/2012 | 17 Safar 1433 H | Hits: 13.320
Oleh: Lhinblue Alfayruz

Ilustrasi (desainkawanimut.com)
dakwatuna.com - “Assalamu’alaikum…” sapaku dengan nafas setengah tersengal pada Ka Mia sambil cipika cipiki.
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh… Sehat Dhir?” balasnya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah Ka… Kakak udah lama di sini?” sahutku sambil menyelonjorkan kaki.
“Baru nyampe juga kok… Mbak Syifa telat katanya, kita diminta mulai dulu. Kita tunggu satu orang lagi aja ya baru kita mulai liqonya…”
“Ok deh ka…”
Kami sama-sama terdiam; aku melepas lelah sambil mengatur nafas yang sempat tersengal karena terburu-buru menuju masjid ini, sedangkan Ka Mia berkutat dengan BB di tangannya. Entahlah, aku melihat ada semburat yang berbeda dari wajah Ka Mia. Seperti tahu sedang diperhatikan olehku, Ka Mia langsung mengalihkan pandangannya dari BB di tangannya ke arahku.
“Dhira, gimana kabar CV-mu? Udah ada CV ikhwan yang masuk belum dari Mbak Syifa?” sungging senyumnya dan pertanyaannya membuat hati ini dag dig dug.
Waduuh, kenapa tiba-tiba sang kakak menanyakan hal ini? Aku sebenarnya sudah lama tak ingin membahas tentang hal ini. Ya, sepertinya memang belum bisa tahun ini dan aku sudah menggeser planning itu di 2012 nanti.
“Hmm… belum ka… Kakak sendiri gimana? Udah lagi proses yaaa?” jawabku sambil menggodanya.
Ya. Kami berdua sama-sama sedang dalam masa pencarian dan penantian sang belahan jiwa. Kadang, waktu-waktu menjelang liqo atau setelahnya-lah yang membuat kami sering berbincang tentang masalah perkembangan proses pencarian dan penantian ini. Seperti saat ini yang kami bincangkan.
Teringat dulu, ketika satu bulan aku memasuki kelompok baru ini, ada program ta-akhi (dipersaudarakan) dari Mbak Syifa. Aku dan Ka Mia adalah salah satu pasang ta-akhi dalam lingkaran ini. Program ta-akhi dalam lingkaran kami katanya bertujuan untuk saling menjaga satu sama lain, saudara yang dita-akhikan adalah yang harus paling tahu tentang kondisi saudara yang dita-akhikan dengannya. Walaupun usia Ka Mia terpaut 3 tahun di atasku, tapi kami sudah seperti sahabat dekat, saling bercerita termasuk masalah proses ini. Ya, program ta-akhi dalam suatu ‘lingkaran’ ternyata amat berdampak untuk bisa saling menjaga.
“Aku juga belum, Dhir… Hmm… karena aku menempuh jalan yang berbeda dari yang lain…” wajah Ka Mia terlihat memerah.
Aku memandanginya dengan bahasa wajah tak mengerti.
“Sebenernya, aku udah ada kecenderungan dengan seorang ikhwan…” lanjutnya sambil lekat memandangku dan sepertinya ingin tahu apa reaksiku.
“Hah?? Beneran Ka? Siapa? Aku kenal gak?” rasa penasaranku mulai mencuat ke permukaan hingga bertubi-tubi pertanyaan terlontar.
“Dhira pernah ketemu kok sama orangnya. Inget ga waktu dulu pas Ramadhan, kelompok liqo kita bantuin ngadain buka puasa bersama anak yatim dari kantorku? Nah, yang jadi MC-nya itu, Dhir…” Ka Mia memberikan clue.
Aku mencoba mengingat-ingat. Tak sampai 5 menit, aku bisa mengingatnya dengan jelas. Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak tanpa peci membawakan acara buka puasa bersama anak yatim di daerah Jakarta Selatan. Gayanya yang supel dan agak selengekan, tak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia seorang ikhwan. Tapi cukup salut dengannya karena bisa membuat anak-anak kecil tertawa dengan lelucon yang ditampilkannya. Aaaahh, ga salah niih Ka Mia ‘naksir’ ikhwan seperti dia? Ka Mia yang terkenal shalihah, kalem dan berjilbab lebar ‘naksir’ ikhwan yang agak selengekan itu.
“Hm… bukannya kakak ga kenal dia sebelumnya ya? Dia itu kan yang ‘punya’ wilayah tempat santunan anak yatim itu bukannya?  Ketemunya pas acara itu aja kan?”
“Iya, awalnya emang ga kenal. Ketemu dia juga pas koordinasi beberapa hari menjelang acara dan saat acara. Tapi setelah acara, tepatnya menjelang Idul Fitri, dia add FB-ku. Dari situ akhirnya ada komunikasi via FB. Dan ternyata kantorku juga tertarik untuk menyalurkan qurban Idul Adha di daerahnya, maka jadilah komunikasi itu terjalin kembali.”
“Hoo… gitu… Hmm… boleh tau ga ka? Apa sih yang membuat kakak naksir dia?” rasa keingintahuanku semakin memuncak, hanya ingin tahu apa yang membuat akhwat seshalihah Ka Mia ‘naksir’ seorang ikhwan.
Dari kejauhan, muncullah seorang akhwat bergamis biru dongker. Rina, seorang saudari di lingkaran ini juga. Maka seperti kesepakatan di awal, liqo ini akan dimulai jika sudah ada satu akhwat lagi yang datang.
“Kapan-kapan lagi aja ya Dhir ceritanya…” ujar Ka Mia setengah berbisik sebelum akhirnya Rina mendekati kami.
Liqo pun dimulai dengan tilawah dan kultum. Tak berapa lama kemudian, Mbak Syifa datang dan memberikan materi tentang sabar.
Tiba-tiba selagi asyik mengetik poin-poin penting dari materi yang disampaikan oleh Mbak Syifa, HP yang kupegang bergetar. Ada sms masuk. Dari Ka Mia rupanya, padahal kami duduk bersebelahan.
“Dhir, aku mau lanjutin cerita yang tadi, bada liqo, bisa ga? Tapi khawatir dirimu pulang kemaleman…”
Secepat kilat, kubalas smsnya: “Insya Allah bisa Ka. Nanti aku pulang naik bajaj, tenang aja… :)”
“Siip klo gitu, nanti kita sambil dinner aja sekalian…”
“Azzzeeekk… ditraktir… hehe… ^_^  …”
“Siip, insya Allah… ^_^  …”
Adzan berkumandang, liqo ditutup sementara untuk shalat Maghrib lebih dulu. Aku tak sabar ingin tahu kelanjutan cerita dari Ka Mia, cerita seorang akhwat yang punya kecenderungan lebih dulu terhadap ikhwan. Jarang-jarang ada yang cerita seperti ini ke aku, patut didengarkan. Ya walau kadang ketika seorang akhwat bercerita tak memerlukan saran, maka cukupkan cerita itu sebagai pelajaran.
Liqo pun dilanjutkan. Setelah diskusi tentang materi, saatnya sharing qhodhoya (masalah) dan evaluasi binaan serta amanah. Hingga akhirnya, tepat adzan Isya berkumandang, liqo pun usai. Kami bercipika cipiki ria sebelum pulang. Sementara yang lain memutuskan untuk pulang, aku memutuskan untuk shalat Isya dulu di masjid, sedangkan Ka Mia yang sedang datang bulan menungguku di teras masjid.
Usai shalat Isya, aku dan Ka Mia mulai menelusuri jalan di sekitar RSCM untuk mencari tempat makan. Akhirnya pilihan tempat makan jatuh pada sebuah rumah makan seafood. Kami memilih menu nasi goreng seafood dan juice strawberry. Sambil menunggu menu yang akan dihidangkan, mulailah cerita tadi sore dilanjutkan.
“Oiya Dhir, tadi sore ceritanya sampai mana ya?” pancing Ka Mia lebih dulu.
“Oohh… tadi itu aku nanya, apa siih yang membuat kakak punya kecenderungan sama ikhwan itu?”
“Hmm.. Ok, aku akan cerita Dhir. Selama ini aku bisa nahan cerita ini, tapi sepertinya hari ini ga bisa kutahan untuk ga cerita ke kamu. Jadi, tolong dijaga ya..”, lagi-lagi senyumnya menyejukkan jiwa.
“Siip ka, tenang aja. Palingan nanti aku minta izin buat nulis tentang ini, itupun kalo kakak ngijinin.. hehe, dengan sedikit penyamaran tentunya. Maklum, penulis, slalu mencuri-curi kesempatan untuk menuliskan pengalaman yang inspiratif..”, jawabku sekenanya.
Ternyata direspon baik oleh Ka Mia, “Boleh banget Dhir, aku percayakan ke kamu deeh..”
Menu yang ditunggu pun datang. Berhubung lapar sangat, aku meminta izin untuk mendengarkan cerita sambil makan. Dan Ka Mia pun memulai ceritanya.
“Alasan aku punya kecenderungan dengan ikhwan itu sebenernya karena ada kriteria calon suami yang pas pada dirinya. Ini terkait karakter dia, entahlah aku merasa ‘klik’ aja dengan karakternya. Orangnya supel dan dengan gayanya yang seperti itu, aku yakin dia bisa memudahkan aku untuk berdakwah di keluarga besar. Karena selama ini, aku agak sulit ‘berpengaruh’ di keluarga besar. “
Masya Allah, alasannya ternyata itu; karakter untuk memudahkan berdakwah di keluarga besar. Beda dah emang kriteria akhwat shalihah untuk calon suaminya, bervisi dakwah euy. Bukan kriteria fisik, misalnya putih dan tinggi, seperti yang biasanya sering dicurhatkan ke aku oleh beberapa akhwat yang mencantumkan putih dan tinggi sebagai kriteria calon suami mereka. Ya, karena jika dilihat dari fisiknya, ikhwan yang dicenderungi oleh Ka Mia, termasuk yang biasa saja, standar, tidak putih dan juga tidak tinggi, tapi tetap lebih tinggi sang ikhwan dibandingkan Ka Mia.
“Oohh gitu ka.. trus akhirnya apa yang kakak lakukan?”, tanyaku sambil menyeruput juice strawberry.
“Akhirnya, setelah istikharah beberapa malam, aku sampaikan tentang hal ini ke Mbak Syifa. Mbak Syifa pun berusaha mencarikan jalur tarbiyah sang ikhwan lewat teman Mbak Syifa. Nunggu kabar itu, lama banget, berminggu-minggu baru dapat kepastian bahwa ternyata temannya Mbak Syifa yang ada di daerah yang sama dengan ikhwan itu, ga bisa mendeteksi karena ga ada yang kenal dengan ikhwan itu. Waaah, sempet terpikir tuh sama aku, ini ikhwan, tarbiyahnya sehat gak ya? kok ga dikenal ya di daerahnya sendiri? Mbak Syifa pun ga bisa bantu lagi. Kembali aku istikharah, nanya sama Allah, gimana lagi ini caranya untuk menemukan jalur tarbiyahnya? Dan akhirnya petunjuk itu datang. Aku teringat pas koordinasi acara santunan anak yatim itu, aku juga koordinasi sama seorang akhwat selain sama sang ikhwan. Tentunya sang akhwat mengenal baik sang ikhwan karena berada di satu daerah.  Akhwat itu udah punya anak dua, Mba Nany namanya. Aku beranikan diri menyatakan hal itu ke Mba Nany via FB, tapi izin dulu ke Mbak Syifa. Mba Syifa mempersilakan. Alhamdulillah, Mbak Nany merespon cepat, beliau minta MR-ku untuk hubungin beliau, kemungkinan besar Mbak Nany tahu jalur tarbiyah sang ikhwan. Aku kasih tahulah respon ini ke Mbak Syifa dan minta tolong Mbak Syifa hubungin Mbak Nany. Aku kasih nomor Mbak Nany ke Mbak Syifa.”
“Sambil dimakan Ka.. “, sela-ku karena melihat nasi di piring Ka Mia masih banyak dibandingkan nasi di piringku yang tinggal beberapa suap lagi.
Ka Mia pun menyuapkan nasi goreng seafood ke mulutnya.
“Waah,, ribet juga ya Kak, prosesnya. Salut aku, kakak sampai sebegitu beraninya.”
“Ya namanya juga ikhtiar, Dhir.. Aku juga ga nyangka bakal seberani ini. Tapi ya itu tadi, sebelum bertindak apa-apa, aku istikharah dulu, curhat ke Allah. Dan Allah memantapkan hati ini untuk bertindak pada akhirnya, makanya aku berani. Pas mau cerita ke Mbak Syifa n Mbak Nany aja, ada rasa ga berani.. Tiap mau kirim message, pasti didelete lagi, diurungkan niatnya. Baru ada keberaniaan mengirim message setelah shalat istikharah..”
Masya Allah, baru kali ini aku mendengar cerita akhwat yang mencari jalur tarbiyah ikhwan. Biasanya, ikhwan yang berusaha mencari jalur tarbiyah akhwat. Benar-benar jalan yang ditempuh berbeda dari yang lain. Tak sabar diri ini menunggu cerita selanjutnya dari Ka Mia.
“Trus akhirnya udah ada progress dari Mbak Nany n Mbak Syifa?”
Ka Mia menyeruput juice strawberry-nya baru kemudian melanjutkan cerita, dengan sedikit menghela nafas.
“Huuffhh. Ya, aku udah dapet kabar dari Mbak Syifa, baru aja kemarin Mbak Syifa meminta aku ke rumahnya. Jadi ternyata, Mbak Nany itu harus nanya dulu ke Murabbiyahnya untuk mencari tahu siapa Murabbi sang ikhwan. Makanya agak lama juga progressnya, hampir satu bulan. Mbak Syifa ga tau bagaimana MR Mbak Nany mengkomunikasikan hal ini ke MR sang ikhwan, yang jelas Mbak Syifa mohon tidak menyebutkan namaku, untuk menjaga izzah. Trus barulah dapet kabar kalo MR ikhwan itu agak keberatan dengan akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, dan ada kemungkinan MR ikhwan itu sudah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Mungkin sang MR menginginkan binaannya ta’aruf dimana masing-masing belum saling kenal, berbekal dari CV pilihan sang MR, masih seperti jaman awal dakwah dulu. Kalo kata Mbak Syifa, kebanyakan MR ikhwan itu biasanya memang masih belum menerima jika ada akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, beda dengan MR akhwat yang lebih terbuka dan ga mempermasalahkan kalo ada akhwat yang mengajukan diri. Jadi memang agak sulit kalo Mbak Syifa harus ngomong langsung ke MR sang ikhwan. Soalnya kan udah tau pandangan MR ikhwan itu terkait akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, seperti apa. Lagipula sempat disinggung kemungkinan sudah ada proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan dari MRnya. Kalo Mbak Syifa langsung menghubungi MR sang ikhwan, itu pasti mau ga mau akan membuka namaku. Mbak Syifa juga masih bingung makanya mau gimana kelanjutannya dan keputusan itu diserahkan ke aku; mau dihentikan atau mau tetap lanjut tapi gimana caranya? Ya, gitu deh ceritanya.. Gimana tanggapanmu, Dhir?”, Ka Mia mengakhiri cerita itu dengan senyum simpulnya.
Aah.. Ka Mia masih bisa tersenyum dengan kabar seperti itu. Jika aku berada di posisinya mungkin sudah menyerah dengan perjuangan untuk menuju ta’aruf yang super duper ribet seperti itu. Belum aja ta’aruf, sudah ribet sedemikian rupa, apalagi jika sudah ta’aruf dan menuju jenjang pernikahan. Mungkin ini yang disebut perjuangan untuk sebuah rasa yang harus dipertanggungjawabkan.
“Hoalah.. Kok ribet banget ya ka? MR ikhwan udah jelas-jelas keberatan kalo akhwat mengajukan diri lebih dulu dan sepertinya udah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Uppss.. maaf Ka.. “, aku menahan kata-kata lainnya untuk dikeluarkan, khawatir menyinggung perasaan Ka Mia.
“Kok minta maaf? Ga papa Dhir.. Ya begitulah ikhwan, kadang sulit dimengerti. Aku juga belum tau apakah sang ikhwan memiliki kecenderungan yang sama atau ga sepertiku. Masalahnya, baru kali ini aku menemukan seseorang yang aku rasa ‘klik’ denganku, maka aku mau coba berusaha mengikhtiarkan jalan ini. Di usia yang sudah seharusnya menikah, apalagi yang ditunggu jika ada seseorang yang dirasa sudah cocok dengan kita. Jalan satu-satunya adalah mengikhtiarkan walaupun aku belum tau sebenarnya apakah ikhwan itu punya kecenderungan yang sama. Jika sudah diikhtiarkan jadi ga penasaran, apapun itu hasilnya. Toh kalo jodoh ga ke mana kan?”
Aah.. Kata-katanya ini sungguh menancap dalam ke relung hatiku. Usia Ka Mia yang saat ini sudah menginjak 26 tahun memang sudah selayaknya menikah. Aku saja yang 3 tahun di bawahnya juga sedang dalam pencarian dan penantian, apalagi Ka Mia yang sudah bertahun-tahun mencari dan menanti. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya selama itu menanti.
“Iya, ka.. insya Allah jodoh ga pernah ketuker. Kalo memang Ka Mia berjodoh di dunia ini dengan ikhwan itu, insya Allah jalan menuju ke sana pasti terbuka. Hm.. kalo menurutku ga masalah sebenernya akhwat mengajukan diri lebih dulu, itupun ada contohnya dari bunda Khadijah. Ya tapi memang ga lazim aja di jaman sekarang ini, masih dianggap tabu bagi sebagian besar orang. Oya, aku mau tanya sama kakak donk, apa kakak udah tahu betul bagaimana akhlaq sang ikhwan hingga akhirnya kakak berniat mengajukan diri lebih dulu? “, naluri konsultan mulai muncul dalam diri.
“Insya Allah udah, Dhir. Ketika aku mengutarakan hal ini ke Mbak Nany, yang juga kenal baik dengan ikhwan itu, aku juga minta dijelaskan bagaimana karakter dan sifat sang ikhwan selama bekerjasama dengan Mbak Nany. Mbak Nany bilang, sang ikhwan punya daya juang yang tinggi, walau terlihat selengekan termasuk yang mudah dinasihati. Untuk kesiapan menikah dalam waktu dekat, Mbak Nany melihat sudah ada kesiapan dari sang ikhwan. Tapi mungkin ada sedikit masalah pada financial karena sang ikhwan masih harus membiayai adiknya yang masih SMA dan yang masih skripsi. Dari penjelasan Mbak Nany, makin memantapkan diriku, Dhir.”, jelas Ka Mia.
“Hoo.. bagus deh kalo gitu Ka. Karna kan ketika bunda Khadijah ingin mengajukan diri, beliau mencari tahu dulu akhlaq Muhammad melalui perantara Maisarah, orang kepercayaannya, dengan melakukan perjalanan dagang bersama. Trus setelah tahu dan mantap, baru deh meminta Nafisah, wanita setengah baya, untuk ngomong dari hati ke hati sama Muhammad. Ga langsung nembak bahwa Khadijah suka dan menginginkan Muhammad sebagai suaminya. Tapi menanyakan hal-hal umum terkait kesiapan Muhammad tentang pernikahan dan apakah sudah ada calon atau belum. Ketika Muhammad bilang belum ada calon, maka Nafisah mengajukan wanita dengan kriteria tertentu, rupawan, hartawan dan bangsawan, tidak menyebutkan bahwa Khadijah-lah orangnya. Namun dari kriteria yang disebutkan itu, Muhammad pun paham siapa yang dimaksud. Ya, berarti kakak udah menempuh jalan sampai tahap Maisarah, tinggal mencari Nafisahnya Ka.”
“Hmm.. iya betul, Dhir.. Aku juga sempat terpikir hal itu, tapi siapa ya yang bisa menyampaikannya?”
“Sebenernya menurutku, Mbak Nany juga bisa langsung berperan sebagai Nafisah. Tadi kan kakak bilang agak sulit dengan MR ikhwannya. Kan bisa aja Mbak Nany yang mancing lebih dulu, untuk ta’aruf selanjutnya bisa diserahkan via MR, jika tentunya sang ikhwan juga punya kecenderungan yang sama. Setidaknya Mbak Nany bisa mengorek informasi apakah sang ikhwan sudah punya calon yang akan dinikahi atau belum, atau sudah ada kecenderungan dengan akhwat lain atau belum. Kalo belum, bisa aja dengan sedikit candaan, Mbak Nany menawarkan ke sang ikhwan, sambil ngomong kayak gini: saya ada akhwat niih yang udah siap nikah dan sedang mencari pendamping, bersedia ga? Kriterianya blablabla, nyebutin kriterianya Ka Mia. Kalo sang ikhwan bersedia dengan kriteria yang disebutin, Mbak Nany bisa langsung kasih tahu kalo akhwat yang udah siap nikah itu adalah Ka Mia. Mbak Nany, Ka Mia dan sang ikhwan kan udah saling kenal, jadi lebih gampang seharusnya. Nah, nanti kan jadi makin tahu gimana respon sang ikhwan jika ternyata akhwat yang ditawarkan itu Ka Mia. Kalo ikhwan bilang lanjut, maka dia bisa langsung bilang ke MRnya kalo dia sudah siap nikah dan sudah punya nama. Kalo udah binaan sendiri yang bilang ke MR mah, biasanya udah gampang Ka, apalagi udah ngajuin nama. Kalo kayak gini prosesnya kan jadi ga keliatan kalo Ka Mia yang mengajukan diri lebih dulu, tapi harus bermain ‘cantik’ dalam proses, jangan sampai sang ikhwan tahu kalo Ka Mia mengajukan diri. Hehe..”, panjang lebar aku menjelaskan bagaimana sebaiknya penerapan proses Ka Mia dan sang ikhwan seperti proses Khadijah dan Muhammad.
“Hwaaa.. Dhiraaaa, kamu udah kayak konsultan jodoh aja deh. Jadi tercerahkan niih aku jadinya. “, Ka Mia menepuk pipiku yang gembul.
“Semoga bisa sedikit ngasih solusi untuk proses kakak yang rumit itu, masa’ hanya gara-gara MR ikhwan, langsung mundur? Ada banyak jalan menuju Roma.. hehe..”
“Siip,, insya Allah.. Naah, kamu sendiri gimana niih Dhir? Udah nemu yang cocok denganmu belum?”, tembak Ka Mia kepadaku.
“Hehe.. aku mah sabar aja Ka dalam penantian ini, nunggu pangeran berkuda putih dateng ngelamar aja, hehe..”, jawabku sedikit asal.
“Sabar dalam penantian itu bagi seorang akhwat ga berarti pasif, tinggal nunggu. Akhwat juga harus aktif dalam penantian. Jumlah akhwat itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikhwan. Terlepas dari jodoh adalah takdir, tetep harus ikhtiar yang terbaik untuk mencari calon imam bagimu dan anak-anakmu kelak. Memang benar jodoh itu di tangan Allah, tapi kita juga harus aktif berikhtiar mengambil dariNYA. Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa, katanya target tahun ini kan? Tentunya dengan tetap menjaga izzah sebagai seorang akhwat dan jangan pernah tinggalkan istikharah dalam mengambil tindakan apapun..”, ujar Ka Mia memberi masukan untukku.
“Hahahaha.. ga jadi tahun ini Ka.. Ga keburu.. Jadi,, tahun depan aja targetnya insya Allah.. hehe..”
“Jiiaahh.. kamu ini udah siap belum siih? Apa cuma sekadar ingin menikah? Lagi labil gitu maksudnya..”, ledek Ka Mia.
“Siap gak siap mah harus nyiapin diri Ka.. Tapi apa mau dikata kalo pangeran berkuda putihnya belum muncul-muncul juga?”, aku menimpali ledekan Ka Mia.
“Yaudah, kita saling mendoakan ya yang terbaik, dan ikhtiar yang terbaik juga.. Jazakillah ya Dhir, udah mau denger ceritaku dan ngasih solusinya.. Aku cerita ini cuma ke 3 orang, Mbak Syifa, Mbak Nany dan kamu. Bahkan aku cerita detail seperti ini cuma ke kamu looh.. Hehe..”
“Sama-sama Ka, ceritanya menginspirasi banget. Jarang loh ada akhwat yang berani mengajukan diri. Dan aku rasa, hanya akhwat tangguh yang bisa seperti itu. Tangguh akan perasaan dan hatinya. Alhamdulillah kalo ada respon positif dari sang ikhwan, kalo responnya negatif? Hanya akhwat tangguh yang bisa menerima kemungkinan kedua; ditolak.. Aku salut deh sama kakak. Semoga lancar urusannya y Ka.. Doain aku juga, semoga pangeran berkuda putihku segera datang menjemputku.. hehe..”
“Aamiin.. insya Allah saling mendoakan yang terbaik..”
Kami pun menyudahi dinner. Ka Mia menungguku hingga naik bajaj. Aah, sungguh malam yang berkesan dalam kebersamaan dengan saudari seperti Ka Mia.
****
Sesampai di rumah, kurebahkan diri ini di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Pandangan kualihkan ke sebelah kanan tempat tidur. Ada sebuah diary biru yang tergembok. Aku buka dompetku dan kukeluarkan sebuah kunci di sela-sela saku dalamnya. Gembok ‘blue diary’ itu pun kubuka. Kuraih ballpoint tepat di samping kananku. Baru saja tangan ini tergerak untuk menulis, terdengar sebuah dering dari HP-ku. Kuraih HP dan terteralah sebuah pesan dari YM-ku.
“Asslm.Dhir,gmana nih kabarnya? lagi deactive FB ya?”
Aah.. Rasa yang tak biasa itu muncul lagi, tepat di hari ke-7 aku mendeaktif akun FBku. Kenapa nama seorang ikhwan itu yang tertera di YM-ku menyadari bahwa aku sedang mendeaktif FB-ku? Kata-kata Ka Mia pun terngiang:
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
Segera kutepis kata-kata itu dan mencoba menepis rasa yang terlanjur ada. Tak terasa, bulir-bulir hangat itu membasahi pipi. Kugerakkan tangan ini untuk menulis dalam ‘blue diary’.
Jika anugrah itu membahagiakan
Maka cinta yang [katanya] merupakan anugrah dariNYA
Seharusnya juga membahagiakan
Namun adakalanya
Ada yang merasa tak bahagia dengan cinta
Atau janganlah terlalu dini menyebutnya cinta
Mari kita sebut saja sebuah rasa
Rasa yang berbeda
Yang [lagi-lagi katanya] menggetarkan jiwa
Aha
Mungkin memang belum saatnya
Rasa itu ada
Hingga diri merasa nista dengan rasa
Atau jangan-jangan rasa yang ada
Didominasi oleh nafsu sebagai manusia
Jika itu permasalahannya
Maka titipkanlah rasa pada SANG PENGUASA
Biarkan ia yang belum saatnya, bersamaNYA
Biarkan waktu yang kan menjawabnya
Hingga Dia mengembalikan rasa itu jika saatnya tiba
Wanita.. Wanita..
Slalu saja
Bermain dengan rasa
Maka mendekatlah padaNYA
Agar rasa yang belum saatnya
Tetap terjaga
Agar rasa yang ada
Tak membuat hati kecewa
Agar rasa yang dirasa
Tak membuat jauh dariNYA
Biarkanlah diri merasa nista dengan rasa
Jika ternyata nafsu tlah menunggangi ia yang belum saatnya
Hingga akhirnya membuat diri menangis pilu karenanya
Menangis karena menyadari bahwa dirinya masih rapuh ternyata
Masih perlu belajar bagaimana mengelola rasa yang belum saatnya
Ya Rabbana
Hamba titipkan rasa yang belum saatnya
Agar ia tetap suci terjaga
Hingga waktunya tiba

Aah.. Aku bukanlah akhwat tangguh yang bisa memperjuangkan rasa yang terlanjur ada. Aku hanya akhwat biasa yang tak sanggup akan rasa yang belum saatnya, karena aku bukanlah Khadijah yang mulia.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/18072/ketika-akhwat-mengajukan-diri-2/#ixzz1rEJnqLxi